Selasa, 06 Juli 2021

Fatih mengajak main Game

 

“ayo bunda, bunda harus berusaha. Sok ku ade diantosan. Bunda mah kalah wae. Mobil adena diem heula. Sok bunda di depan” akhirnya dia menghentikan mobilnya sejenak, ceritanya mau jajan dulu makanan. Sambil nungggu mobil ibunya lewat. Daaaan, tetep aja meskipun udah dibiarkan nyusul,  “nah ayeuna ku ade disusul ..” terkejar juga sama si kecil dan “yeee, ade menang. Soalna ade mah kuat. Atos jajan heula” ha haha.

Tidak, saya tidak sedang mengalah agar anak saya menang main game.dalam jenis game lain kami kadang bergantian menang, tapi di game balap mobil saya bener2 gak bisa dan selalu kalah oleh si kecil. Lucunya, ia malah menghibur dan memotivasi agar saya tidak menyerah untuk tetap bermain dengannya. Meskipun di situasi2 sepele ia suka laporan dan menangis, justru di situasi2 ketika bundanya tampak melow ia tampil untuk menghibur dan menenangkan. ya itulah fatih.


kadang-kadang, saya berpikir kok bisa anak sekecil itu berpikir begitu dewasa? padahal rasanya, ajaran saya kepada semua anak2 ya sama saja, baik itu laki-laki maupun perempuan. tapi Fatih itu begitu berbeda. ia selalu bilang ingin membelikan barang2 untuk bunda dan kakak-kakaknya, selalu ingin tampil melindungi. bahkan tidurpun ia ingin di tepi ranjang agar bunda dan tetehnya tidak jatuh, katanya. lantas kemudian saya ingat bahwa sebelum ajaran, sebelum pembiasaan dan keteladanan, ada fitrah yang Allah tanamkan pada setiap manusia.. dan fitrah laki-laki sebagai orang yang memiliki tanggung jawab kepemimpinan lebih dibanding perempuan tentu berbeda. 

semoga kelak Fatih bisa memikul tanggung jawab itu,. sebagai wali bunda dan kakak-kakaknya. dan ia tak melupakan kami meskipun kelas ia menikah untuk menerima tambahan tanggung jawab.

doa bunda menyertaimu de

Ketika "ayah" wafat

 Bismillahirrahmanirrahim

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

ahad, 23 agustus tahun 2020, ayahnya anak2 (suami saya) wafat. saya masih ingat betul rangkaian kegiatan kami pada hari itu. Pagi-pagi kami pergi ke pengajian, lalu pulangnya mampir ke tempat menjahit dan mengantarkan anak2 ke rumah neneknya untuk les menggambar bersama ica. setelah itu, saya dan suami berdua saja di rumah. saya melakukan aktifitas membaca, suami menyapu di halaman lalu kami makan siang dan berdiskusi tentang rencana wisuda hafalan di sekolahnya (SMP BPI). setelah makan siang, saya membagi obat pemulihan suami saya sementara beliau menandai kapan obat itu harus habis lalu beristirahat.

Setelah shalat ashar berjama'ah kami melanjutkan bincang2 ringan sambil melihat2 foto anak kami yang paling kecil dan bertanya jam berapa kira2 pulang supaya ayahnya bisa bersiap-siap untuk menjemput. Namun, ternyata suami saya tak pernah bisa menjemputnya. Dalam perbincangan kami yang terakhir, ia terdiam lalu terkulai dari duduknya tak sadarkan diri. saat itu saya mencoba mengguncangnya dan bertanya "ayah kenapa? ayah kenapa?". namun tak ada jawaban. tetiba badannya menelungkup lalu saya refleks meraba jantungnya. saat itu jantungnya berdetak sangat cepat dan keras. sebagai orang awam saya tidak tahu apa yang terjadi, namun saya yakin ada sesuatu yang salah. lantas saya menelepon kedua kakak dan ibu saya. 

setelah saya berhasil membuatnya terlentang, saya kembali memeriksa jantungnya. Namun, kali ini hening tidak ada detakan. perasaan saya udah gak karuan aja. lalu saya meletakkan di hidung, untuk mengecek adanya nafas yang berhembus, namun nihil. lalu saya mencoba meraba denyut nadi di tangan sambil gemetaran, namun tak teraba. Pikiran saya langsung mengarah pada kematian. "ayah, apa ayah memang sudah pergi?" saya berucap padanya, sebab jika memang ia sudah wafat, ia akan mendengar saya. "kalau memang sekarang saatnya ayah pulang kepada Allah, bunda ridha. semoga kita bertemu kembali di surga" ucap saya menegarkan diri. setelah itu saya membaca kalimat tahlil dan hauqalah tanpa henti sampai akhirnya kakak saya datang dan kami bersama-sama menuju IGD RS Al-Ihsan. perjalanan yang tak pernah saya lupakan; yang terasa begitu lambat dan saya tak henti bertanya dalam hati "apakah ini nyata? apakah ini nyata?"

singkat cerita, setelah dicek jantung dan garisnya lurus lalu perawat mengucap "Laa Ilaaha Illallah" berulang-ulang dengan keras, saya pun ikut mengucapkannya di telinga suami. Tidak lama kemudian dokter datang dan mengecek lalu mengatakan bahwa suami saya sudah tiada. 

apa yang terpikir saat itu? beberapa teman bertanya kepada saya. apa yang saya pikirkan saat tahu suami saya wafat.

saat itu saya memikirkan Malaikat Izrail. ya Allah, ternyata kematian bisa datang kapan saja. jadi selama tadi saya berbincang dengan suami ada Malaikat maut yang siap menjemput ruh suami saya. hanya itu yang saya pikirkan di RS. bahkan saya tidak memikirkan nasib saya dan anak2 setelah ini. saya hanya ingat bahwa suatu saat saya juga akan pulang dan ingat bahwa suami saya kini membutuhkan bantuan saya dan anak2 untuk menambah berat timbangan amal kebaikan. 

Hari itu rasanya seperti mimpi, terutama saat2 ketika mobil kami melaju sangat cepat dan suami saya terkulai di kursi dengan digenggam tangan saya.

sesampainya kami di rumah, keluarga dan tetangga sudah berdiri menyambut kami.  saya merasa ta'jub luar biasa "ya Allah ayah, bahagianya engkau dengan sambutan luar biasa begini di akhir hayatmu". 

ketika masuk ke rumah, anak2 saya menangis, kecuali de fatih yang masih belum mengerti apa2. saya memeluk mereka dan mengatakan "yang terbaring ini bukan ayah. ini adalah jasad tempat ayah dulu pernah tinggal di dalamnya. ruh ayah mungkin ada di sini mendengar kita. bersabarlah. Rasulullah juga yatim sejak lahir. jadi jangan pernah takut. kita berdoa bersama agar bisa bertemu kembali untuk bertemu dengan ayah di surga Allah".

Masyaallah luar biasa, anak2 saya tetiba terdiam. terima kasih ya Allah telah memberikan kepada saya anak2 yang tangguh. 

Kini ke-4 anak itu menjadi amanah saya. Semoga Allah membimbing kita selalu.

Semoga Allah menyayangi kita semua

Senin, 07 Juni 2021

Pekan PAT anak2. hmmm

Hari ini, kak nuha dan teh hafiyya melaksanakan tes PAT tertulis. Sementara kak hilwa udah berlangsung dari pekan lalu. 
Setiap kali anak2 mau menjalani tes, saya suka ikutan tegang dag did dug gak karuan. Rasa khawatir menyelimuti begitu mereka nyantai2 saja di pekan yg harusnya bikin mrk lebih bersemangat membuka buku. Kadang2 saya berpikir kenapa harus sekhawatir itu? Apa karena takut mereka mendapat nilai kecil sehingga berdampak pd angka2 yg akan tampil d buku rapor atau khawatir mereka menjadi pribadi pemalas yg tidak terlalu peduli dg apa yg mereka jalani?
Kedua kekhawatiran itu jujur ada dua2nya meskipin kdng satu sama lain bergantian menjadi alasan nomor satu. 
Iya, saya khawatir mereka mendapat nilai kecil di rapor. Kekhawatiran yang semu sebetulnya. Sebab, angka2 itu hanyalah tampilan di mata manusia. Kadang2 ia mencerminkan mutu pemahaman anak2, kadang2 ... -dengan tuntutan kkm, persaingan dengan sekolah lain dalam ppdb- saya ragu bahwa itu mencerminkan kompetensi yg sesungguhnya. Kadang saya takut malah akhirnya menjebak mereka utk peduli pd penilaian di mata manusia. Biasanya setelah itu saya beristigfar dan mendampingi mereka utk belajar supaya tidak salah orientasi, meski ya kesibukan dg kerjaan saya sendiri seringkali membuat program ini tidak optimal. Pada akhirnya, dengan gaya khas ibu2 yg ada bawel2nya, saya memberi nasihat lebih tertuju pada kekhawatiran poin 2; bahwa seorang mu'min itu bukanlah pribadi pemalas. Bahwa jika mereka menginginkan utk mencapai surga, utk mencapai cita2 di masa depan ... Maka angka2 di rapor adalah salah satu ujiannya. Ujian untuk bisa komitmen melakukan sesuatu meskipun malas atau sulit. Ujian untuk menyelesaikan sesuatu sampai tuntas. Jika orang2 sukses secara duniawi saja mau berpayah2 untuk mencapai cita1 duniawi, apalah lagi kita yang menyatakan diri beriman yg punya cita2 masuk surga. Dunia adalah ujian kesungguhan, jadi kita tentu tak boleh berlalai2. Biasanya, setelah dibawrlin begitu mereka sadar. Tapi selnjutnya, ya begitulah. PR saya sebagai ibu untuk selalu bersabar mendampingi mereka. Mendampingi masa2 sekolah dg segudang problematikanya. 
Semoga saya bisa, semoga anak2 pada akhirnya mengerti bahwa hidup adalah perjuangan. Dan saya ingin mereka menunjukkan perjuangan ketika ulangan setidaknya utk melihat bahwa mereka punya ghirah utk menjalani kehidupan dg sebaik2nya. 

Selamat PAT anak2ku. Semoga Allah memudahkan urusn kalian. Aamiin


Love love love

Minggu, 06 Juni 2021

Pasca Ayah Wafat

23 agustus 2020 adalah hari yang kelam untuk kami sekeluarga. Pasalnya, pada hari itu ... Suami saya menjalani takdir akhirnya di alam fana ini. Ia dijemput oleh Malak Izrail saat saya berada di pangkuannya. Peristiwa yang kami imani, akhirnya terjadi juga. 
Sebagi seorang mu'min, saya dan anak2 alhamdulullah menerima ketentuan Allah ini meskipun tentu ada banyak hal yang berubah setelah kepergiannya. Suami yang sangat rajin berpartisipasi dlm pekerjaan2 rumah, yang selalu mendengarkan curhatan, yang satu2nya bisa saya ajak konyol2an akhirnya tiada. Seakan ada rongga kosong di dada saya. Saya kehilangan. Kami kehilangan. 
Namun, bukn hal2 itu yang terberat dijalani pasca kepergiannya. Lontaran2 pertanyaan dari de fatih tentang kenapa ayahnya gak bangun2, tentang dia yang ingin ayahnya kembali, tentang dia yang tidak mau ayahnya gak ada itulah yang seringkali membuat saya teriris luka. Namun kemudian saya berpikir, bahwa apa yang datang dari Allah pasti baik. Untuk saya yang kini menjadi single parent dan untuk anak2 saya yang kini menjadi yatim.
Kemudian saya tersadar bahwa suatu saat saya juga bisa "pulang" tanpa aba2...karena itu anak2 harus dipersiapkan sebaik mungkin. Bukan tentang harta atau materi, namun iman yang harus dikuatkan bahwa sejatinya Allahlah yang mengurus mereka. Bahwa hidup di dunia ini ada tujuannya. 
Alhamdulillah, anak2 mau diajak bekerja sama untuk ngaji Qur'an lagi ba'da magrib danmembaca sirah Nabi Muhammad SAW ba'da shubuh. Semoga usaha2 itu mendapat ridha Allah dan mereka kelak menjadi mu'min2 yang tangguh, aamiin.

Toek anak2ku, kalian pasti bisa sebab Allah Tahu kalian memang bisa

Mengubah Diri Sendiri

Dulu, 2017 berniat membuat target menulis sehari sekali dan gagal. Lanjut lagi tahun 2020 pasca sakit parah dan gagal juga. Trrnyata sesulit itu membuat sebuah komitmen untuk istiqamah. Kadang2 kesal pada diri sendiri, namun penyesalan tak bisa mengubah masa lalu. Jadi, menyerah saja? Entahlah. Kita lihat saja. Pelajaran pentingnya adalah bahwa "saat kita sampai pada kesimpulan bahwa mengubah kebiasaan diri itu tidak mudah, maka senaif apa kita hingga kita berharap orang lain berubah karena kita?" Siapa kita?
Pada akhirnya, kita hanyalah makhluk yang leman tanpa pertolongan Allah. Itulah mengapa penting sekali kita mengucapkan insyaallah sembari menyandarkan segala azzam pada-Nya