Awalnya saya tidak berniat untuk
mempublikasikan pengalaman ini. Kenapa? Terus terang saya khawatir pelakunya
adalah seorang teman. Seburuk apapun perbuatan salah seorang teman kepada kita,
pasti dia punya kebaikan yang setidaknya layak untuk mendapat kesempatan
permakluman dan pemberian maaf. Tapi, terlepas dari siapapun pelakunya, barangkali
pengalaman ini berharga untuk diketahui –mengingat saya juga seringkali
browsing ketika mengalami suatu peristiwa baru dan butuh solusinya-.
Ceritanya, hari itu tanggal 7
september 2017 salah seorang rekan guru memberi pesan via WA bahwa saya
menerima paket dari Lazada. Kebetulan saya sudah mulai cuti besar tertanggal 4
september 2017, jadi beliau berinisiatif untuk membawa paket itu ke rumahnya.
Mungkin saya tidak akan terlalu kaget jika pesanan itu merupakan pesanan yang
tinggal diterima, sembari berpikir positif barangkali ada yang mau memberi saya
hadiah milad, hehe. Namun, saat rekan saya –sebutlah Pak T- mengabari bahwa
harga barang dan ongkos kirimnya sudah dihandle dulu pembayarannya oleh beliau,
barulah saya ngeh bahwa itu pesanan yang dibayar di tempat, dengan
nominal yang dibayarkan di atas satu juta. Innaalillaahi. Ada apa ini? Seketika
saya konfirmasi bahwa saya tidak pernah memesan barang baru-baru ini ke Lazada.
Pak T pun mengirimkan foto paket tersebut; berisi data pemesan yang ternyata
mengatasnamakan saya beserta nomor handphonenya yang jelas bukan no hp saya. Spontan
saya mengontak nomor tersebut. Dan , tentu saja nomor itu dalam keadaan tidak
aktif.
Berlangsunglah chatting antara saya
dengan pak T. Prasangka kami awal mulanya sama. Pertama, kemungkinan ada
saudara yang memesan atas nama saya atau akun saya di Lazada yang diretas.
Namun ternyata, kedua prasangka itu tidak terbukti. Kami sepakat untuk
menindaklanjuti kejadian ini besok mengingat hari sudah sore. Saat itu jujur,
saya sempat heran kepada teman yang membayarkan pesanan COD tanpa melakukan
konfirmasi kepada saya. Seandainya beliau menelpon, saya akan langsung meminta
untuk menolak paket tersebut sehingga kurir dapat mengontak “pemesan yang
sesungguhnya” atau mengembalikan paket itu kepada penjual. Akan tetapi setelah
berpikir jernih, di sisi lain saya menyadari bahwa tindakan rekan kerja itu itu
merupakan wujud dari solidaritas, dan tentunya hal tersebut perlu saya syukuri.
Hari itupun berlalu dengan kepasrahan saya kepada Allah seraya meminta jalan
keluar terbaik dari-Nya.
Malam harinya saya mendapat rangkaian
kejadian yang lebih rinci. Istri Pak T –yang juga merupakan rekan sesama guru-
menceritakan kronologisnya dari ibu I yang lebih dulu menemui kurir Lazada.
Saat paket itu sampai, ibu I memberitahu kurir bahwa saya sedang cuti. Dalam
situasi normal, seharusnya kurir menelepon pemesan, namun selanjutnya kurir
malah menanyakan ibu E –sesama pengurus DKM di sekolah kami-. Berlandaskan
pertanyaan itu dan melirik bahwa pesanan itu ternyata amplifier, wajarlah jika
ibu I tidak mencurigai apapun. Dipikirnya, saya memang betul memesan tetapi
untuk DKM Mesjid sekolah. Cerita berlanjut dengan ibu I yang meminta Pak T
untuk melakukan pembayaran. Sampai di sini saya memilih berbaik sangka, adanya
salah satu pengurus DKM yang memesan atas nama saya. Meski, kejanggalan tetap
ada. Sebab, di DKM jarang membuat keputusan tanpa adanya musyawarah terlebih
dahulu. Terlebih menggunakan nama orang lain. Namun, ya sudahlah kondisi saya
yang sedang kurang fit membuat saya malas untuk menelusuri kasus ini.
Keesokan harinya, rekan sesama pengurus DKM
melakukan rapat. Mereka bersama membuka isi paket berisi amplifier tersebut. Kemudian
mengklarifikasi ada tidaknya orang yang melakukan pemesanan atas nama saya.
Ternyata, tidak ada. Akhirnya atas permintaan saya via WA kepada ketua DKM
untuk menutup kasus ini dengan melakukan pembelian ampli oleh DKM dan
kesepakatan musyawarah, ampli itu dibeli oleh DKM.
Seharusnya cerita berakhir sampai di situ.
Kondisi kesehatan saya yang kurang baik membuat saya urung melakukan komplain
ke Lazada. Akan tetapi, hati saya tetap tidak merasa tenang. Jika kasus ini
lolos, maka kemungkinan pemesan mengulangi tindakan tidak terpujinya sangat
besar. Bagaimana dengan akunnya di Lazada atas nama saya? Setelah menimbang
beberapa kondisi, akhirnya saya memutuskan menuntaskan masalah ini sampai
selesai. Seorang yang berbuat zhalim harus ditolong aar dia berhenti dari
kezhalimannya.
Langkah pertama yang saya tempuh adalah
mencari kontak CS Lazada. Alhamdulillah ternyata Lazada memiliki layanan CS
yang bisa dikontak via messenger. Cerita saya pun mengalir kepada sang CS
Lazada. Tidak perlu menunggu lama CS Lazada merespon dengan baik keluhan saya,
bahkan menyilahkan saya untuk mengembalikan paket tersebut. Mereka siap
bertanggung jawab untuk mengganti biaya yang telah dikeluarkan termasuk ongkos
kirim pengembalian paket dan menonaktifkan akun palsu itu. Oh leganya perasaan
saya.
Selanjutnya, rekan-rekan kerja saya sangat
kooperatif dalam mengembalikan paket tersebut. Tanggal 9 september paket
tersebut dikembalikan. Pada hari yang sama Lazada memberikan info via email
bahwa akun palsu tersebut sudah dinonaktifkan. Alhamdulillah sehari setelah
paket tersebut sampai kepada Lazada, saya dapat notif dari BRI bahwa dana
refund dari Lazada sudah masuk rekening. Dan, masalahpun selesai. Salut juga
untuk Lazada yang sangat respek terhadap pelanggan.
Dari peristiwa di atas, ada beberapa hal yang
sempat masih menggelitik rasa ingin tahu saya. Siapa dan apa motif pelaku
mengorder barang atas nama saya? muncul beberapa spekulasi dalam pemikiran
saya, namun biarlah itu mengendap dalam benak. Yang jelas, pelaku adalah orang
yang mengenal saya secara administratif dengan baik berdasarkan 2 fakta.
Pertama, dia menulis nama saya dengan benar. orang sepintas biasanya salah
dalam menulis nama saya, seperti kekurangan huruf y baik itu satu atau dua.
Kedua, pelaku tahu saya sedang cuti, buktinya dia menitip pesan kepada kurir
seolah berkata “jika saya tidak ada, titipkan kepada ibu E”. Sisi manusia saya
menginginkan untuk menelusuri siapa pelaku sesungguhnya, namun kemudian saya
berpikir setelah tahu saya mau apa? Akhirnya saya memilih untuk mendo’akan pelaku
saja. Yang pasti, saya yakin dia tahu bahwa tindakannya itu tidak berhasil.
Bagi siapapun yang mengalami peristiwa yang
sama, maka jika anda yang menerima order fiktif tersebut jangan sungkan untuk
menolaknya. Tidak perlu merasa kasihan kepada kurir atau tidak enak hati.
Sebab, jika demikian maka belanja online dapat memicu banyak penipuan. Siapapun
bisa membuat akun atas nama orang lain lalu mebuat pemesanan atas nama orang
tersebut. Karena itu, biarkan kurir yang melaporkan kepada perusahaan sehingga mereka
dapat mengusutnya. Kedua, jika pesanan tersebut terlanjur diterima ajukanlah
komplain. Sebab, perbuatan jahat tidak semata-mata merajalela karena semakin
banyaknya orang jahat, tetapi karena orang baik diam atau mendiamkan saja.
Lantas, apa hikmah yang bisa dipetik dari pengalaman ini? tentu saja yang pertama adalah ilmu. setidaknya saya dan rekan2 kerja jadi tahu bagaimana mengurus sebuah order fiktif. kedua, pelajaran untuk selalu melakukan konfirmasi. dan terakhir, ujian tentunya. ujian dari Allah, sejauh mana kita bersabar atas apa yang menimpa kita. Semoga kita semua dapat menjadi insan yang senantiasa dapat mengembalikan segala urusan kepada Yang Maha Mengatur.
Bandung, 20 September 2017
“R”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar