Kamis, 21 September 2017

ORDER FIKTIF


 
                Awalnya saya tidak berniat untuk mempublikasikan pengalaman ini. Kenapa? Terus terang saya khawatir pelakunya adalah seorang teman. Seburuk apapun perbuatan salah seorang teman kepada kita, pasti dia punya kebaikan yang setidaknya layak untuk mendapat kesempatan permakluman dan pemberian maaf. Tapi, terlepas dari siapapun pelakunya, barangkali pengalaman ini berharga untuk diketahui –mengingat saya juga seringkali browsing ketika mengalami suatu peristiwa baru dan butuh solusinya-.
                Ceritanya, hari itu tanggal 7 september 2017 salah seorang rekan guru memberi pesan via WA bahwa saya menerima paket dari Lazada. Kebetulan saya sudah mulai cuti besar tertanggal 4 september 2017, jadi beliau berinisiatif untuk membawa paket itu ke rumahnya. Mungkin saya tidak akan terlalu kaget jika pesanan itu merupakan pesanan yang tinggal diterima, sembari berpikir positif barangkali ada yang mau memberi saya hadiah milad, hehe. Namun, saat rekan saya –sebutlah Pak T- mengabari bahwa harga barang dan ongkos kirimnya sudah dihandle dulu pembayarannya oleh beliau, barulah saya ngeh bahwa itu pesanan yang dibayar di tempat, dengan nominal yang dibayarkan di atas satu juta. Innaalillaahi. Ada apa ini? Seketika saya konfirmasi bahwa saya tidak pernah memesan barang baru-baru ini ke Lazada. Pak T pun mengirimkan foto paket tersebut; berisi data pemesan yang ternyata mengatasnamakan saya beserta nomor handphonenya yang jelas bukan no hp saya. Spontan saya mengontak nomor tersebut. Dan , tentu saja nomor itu dalam keadaan tidak aktif.
Berlangsunglah chatting antara saya dengan pak T. Prasangka kami awal mulanya sama. Pertama, kemungkinan ada saudara yang memesan atas nama saya atau akun saya di Lazada yang diretas. Namun ternyata, kedua prasangka itu tidak terbukti. Kami sepakat untuk menindaklanjuti kejadian ini besok mengingat hari sudah sore. Saat itu jujur, saya sempat heran kepada teman yang membayarkan pesanan COD tanpa melakukan konfirmasi kepada saya. Seandainya beliau menelpon, saya akan langsung meminta untuk menolak paket tersebut sehingga kurir dapat mengontak “pemesan yang sesungguhnya” atau mengembalikan paket itu kepada penjual. Akan tetapi setelah berpikir jernih, di sisi lain saya menyadari bahwa tindakan rekan kerja itu itu merupakan wujud dari solidaritas, dan tentunya hal tersebut perlu saya syukuri. Hari itupun berlalu dengan kepasrahan saya kepada Allah seraya meminta jalan keluar terbaik dari-Nya.
Malam harinya saya mendapat rangkaian kejadian yang lebih rinci. Istri Pak T –yang juga merupakan rekan sesama guru- menceritakan kronologisnya dari ibu I yang lebih dulu menemui kurir Lazada. Saat paket itu sampai, ibu I memberitahu kurir bahwa saya sedang cuti. Dalam situasi normal, seharusnya kurir menelepon pemesan, namun selanjutnya kurir malah menanyakan ibu E –sesama pengurus DKM di sekolah kami-. Berlandaskan pertanyaan itu dan melirik bahwa pesanan itu ternyata amplifier, wajarlah jika ibu I tidak mencurigai apapun. Dipikirnya, saya memang betul memesan tetapi untuk DKM Mesjid sekolah. Cerita berlanjut dengan ibu I yang meminta Pak T untuk melakukan pembayaran. Sampai di sini saya memilih berbaik sangka, adanya salah satu pengurus DKM yang memesan atas nama saya. Meski, kejanggalan tetap ada. Sebab, di DKM jarang membuat keputusan tanpa adanya musyawarah terlebih dahulu. Terlebih menggunakan nama orang lain. Namun, ya sudahlah kondisi saya yang sedang kurang fit membuat saya malas untuk menelusuri kasus ini.
Keesokan harinya, rekan sesama pengurus DKM melakukan rapat. Mereka bersama membuka isi paket berisi amplifier tersebut. Kemudian mengklarifikasi ada tidaknya orang yang melakukan pemesanan atas nama saya. Ternyata, tidak ada. Akhirnya atas permintaan saya via WA kepada ketua DKM untuk menutup kasus ini dengan melakukan pembelian ampli oleh DKM dan kesepakatan musyawarah, ampli itu dibeli oleh DKM.
Seharusnya cerita berakhir sampai di situ. Kondisi kesehatan saya yang kurang baik membuat saya urung melakukan komplain ke Lazada. Akan tetapi, hati saya tetap tidak merasa tenang. Jika kasus ini lolos, maka kemungkinan pemesan mengulangi tindakan tidak terpujinya sangat besar. Bagaimana dengan akunnya di Lazada atas nama saya? Setelah menimbang beberapa kondisi, akhirnya saya memutuskan menuntaskan masalah ini sampai selesai. Seorang yang berbuat zhalim harus ditolong aar dia berhenti dari kezhalimannya.
Langkah pertama yang saya tempuh adalah mencari kontak CS Lazada. Alhamdulillah ternyata Lazada memiliki layanan CS yang bisa dikontak via messenger. Cerita saya pun mengalir kepada sang CS Lazada. Tidak perlu menunggu lama CS Lazada merespon dengan baik keluhan saya, bahkan menyilahkan saya untuk mengembalikan paket tersebut. Mereka siap bertanggung jawab untuk mengganti biaya yang telah dikeluarkan termasuk ongkos kirim pengembalian paket dan menonaktifkan akun palsu itu. Oh leganya perasaan saya.
Selanjutnya, rekan-rekan kerja saya sangat kooperatif dalam mengembalikan paket tersebut. Tanggal 9 september paket tersebut dikembalikan. Pada hari yang sama Lazada memberikan info via email bahwa akun palsu tersebut sudah dinonaktifkan. Alhamdulillah sehari setelah paket tersebut sampai kepada Lazada, saya dapat notif dari BRI bahwa dana refund dari Lazada sudah masuk rekening. Dan, masalahpun selesai. Salut juga untuk Lazada yang sangat respek terhadap pelanggan.
Dari peristiwa di atas, ada beberapa hal yang sempat masih menggelitik rasa ingin tahu saya. Siapa dan apa motif pelaku mengorder barang atas nama saya? muncul beberapa spekulasi dalam pemikiran saya, namun biarlah itu mengendap dalam benak. Yang jelas, pelaku adalah orang yang mengenal saya secara administratif dengan baik berdasarkan 2 fakta. Pertama, dia menulis nama saya dengan benar. orang sepintas biasanya salah dalam menulis nama saya, seperti kekurangan huruf y baik itu satu atau dua. Kedua, pelaku tahu saya sedang cuti, buktinya dia menitip pesan kepada kurir seolah berkata “jika saya tidak ada, titipkan kepada ibu E”. Sisi manusia saya menginginkan untuk menelusuri siapa pelaku sesungguhnya, namun kemudian saya berpikir setelah tahu saya mau apa? Akhirnya saya memilih untuk mendo’akan pelaku saja. Yang pasti, saya yakin dia tahu bahwa tindakannya itu tidak berhasil.
Bagi siapapun yang mengalami peristiwa yang sama, maka jika anda yang menerima order fiktif tersebut jangan sungkan untuk menolaknya. Tidak perlu merasa kasihan kepada kurir atau tidak enak hati. Sebab, jika demikian maka belanja online dapat memicu banyak penipuan. Siapapun bisa membuat akun atas nama orang lain lalu mebuat pemesanan atas nama orang tersebut. Karena itu, biarkan kurir yang melaporkan kepada perusahaan sehingga mereka dapat mengusutnya. Kedua, jika pesanan tersebut terlanjur diterima ajukanlah komplain. Sebab, perbuatan jahat tidak semata-mata merajalela karena semakin banyaknya orang jahat, tetapi karena orang baik diam atau mendiamkan saja.
Lantas, apa hikmah yang bisa dipetik dari pengalaman ini? tentu saja yang pertama adalah ilmu. setidaknya saya dan rekan2 kerja jadi tahu bagaimana mengurus sebuah order fiktif. kedua, pelajaran untuk selalu melakukan konfirmasi. dan terakhir, ujian tentunya. ujian dari Allah, sejauh mana kita bersabar atas apa yang menimpa kita. Semoga kita semua dapat menjadi insan yang senantiasa dapat mengembalikan segala urusan kepada Yang Maha Mengatur.



Bandung, 20 September 2017

“R”

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar