“oh Tuhan…” desisku panik ketika
melihat jam dinding di kamarku menunjuk angka 5 tepat. Dengan sigap aku segera menuju kamar mandi dan bergegas
merapikan diri. Tentu saja tanpa lupa menunaikan kewajibanku sebagai seorang
muslimah, shalat shubuh.
Terus terang aku paling tak suka
mengawali hari dengan cara seperti ini, tergesa-gesa. Ini membuatku tidak yakin
apakah segala sesuatu akan berjalan dengan baik seharian. Berdasarkan
pengalamanku di hari-hari sebelumnya,
suasana pagi sangat menentukan
moodku sepanjang hari. Kuharap itu tidak berlaku sekarang. Mencoba memantapkan
hati, aku menatap pantulan diri di cermin, memaksakan diri tersenyum lalu menghirup
nafas dalam, berdo’a memohon agar hari ini berjalan baik. Semoga.
---
Jam 07.10. terlambat sepuluh menit.
Mudah-mudahan tadi guru piket telat pijit bel, harapku. Tapi tentu saja,
halaman sekolah sudah sepi. Tak ada suara berisik. Artinya, anak-anak sudah
siap belajar. Tak berniat mengecek jadwal di ruang guru, aku merasa yakin kalau
jam pertama di kelas 8 E. karena itu setelah memarkirkan motor, dengan
buru-buru aku melesat menaiki tangga sebelah selatan menuju ruang kelas.
Namun, ketika dengan yakin membuka
pintu kelas aku terkejut. Di kelas sudah ada guru lain. Entahlah, setidaknya
seseorang yang tidak kukenal sedang terlihat begitu asyik melakukan tanya jawab
dengan siswa. Begitu aku mengucap salam, laki-laki
berpostur tinggi tegap itu tersenyum menghampiri “bu Elena ya?..maaf saya lupa
bilang, hari ini saya masuk di kelas ini” keningku mengernyit, bingung. Kenapa?
Siapa? Batinku. Sampai dia membimbingku keluar dan berkata pelan, hampir tak
terdengar agar aku menunggu di ruang kepala sekolah. Deg. Jantungku mencelos,
tiba-tiba kakiku merasa tak berpijak.
Kenapa sampai begitu lupa bahwa hari ini adalah hari pertama kepala sekolah
baru -setelah prosesi serah terima yang tak sempat kuhadiri
kemarin-. Dalam hati aku merutuki diri, tak siap
dengan kejutan ini.
---
Ini bukan pertama kalinya aku berada
di ruang kepala sekolah. Namun tentu saja ini pertama kalinya aku dipanggil ke
ruangan ini karena sebuah kesalahan. Menunggu di sini bukanlah kehormatan.
Detik-detik yang berlalu seperti hukuman tersendiri. Demi mencoba menenangkan
diri, aku membaca al-Qur’an. Hingga,
terdengar suara langkah kaki berat dan cepat menuju ruang tempatku duduk.
Mushaf kulipat dan kusimpan di dalam tas.
“Bu Elena, maaf anda menunggu lama” Nada bicaranya
yang cepat, lugas dan bersahabat itu membuyarkan lamunanku. Lelaki perlente
dengan janggut tipis dan baju pemda tanpa jas yang tadi kulihat di kelasku
akhirnya muncul di hadapanku. Kulihat dia mengatupkan kedua tangannya di depan
dada. Mungkin maksudnya bersalaman, aku membalasnya.
Lantas dia duduk di sofa yang bersebrangan. Jujur,
aku merasa sedikit lebih rileks tidak disuruh duduk di depan mejanya seperti
kebiasaan kepala sekolah sebelumnya. Dengan duduk di sofa seperti ini, aku
merasa diperlakukan sebagai partner kerja.
Tak ingin dibombardir dengan pertanyaan -Aku tidak
tahu bagaimana biasanya kepala sekolah menegur guru yang terlambat
datang, karena ini pertama kalinya bagiku- kupikir lebih baik segera minta maaf
dan menjelaskan duduk persoalannya. “saya minta maaf pak, terus terang ini yang
pertama kalinya. Sebelumnya saya tidak pernah terlambat”. Akhirnya kata-kata
itu meluncur, meskipun aku
masih tak berani melihat
reaksinya. Hening sejenak sampai akhirnya kudengar
kekehan ringan. “jangan
khawatir bu. Kalaupun saya mau menegur anda, tentunya bukan pada kesempatan
pertama. Tentu saja saya tidak bisa menilai anda hanya dengan sekali bertemu.
Sungguh tidak bijak”.
Mendengar itu, reaksi spontanku adalah mendongak.
Dadaku serasa ringan, meski masih sedikit heran. Lantas untuk apa aku disuruh
ke sini? Tanyaku dalam hati. Menyadari kebingunganku, kepala sekolah itu
tersenyum. “saya mengisi kelas anda supaya para siswa tidak ribut. Biasanya kan
begitu. Mereka ke sini untuk belajar, jadi, sayang sekali kalau ada waktu yang
tersia-sia.”. jleb,
sindiran yang pas meski mungkin tidak ditujukan demikian. Aku jadi berspekulasi
kalau kepala sekolahku yang baru ini pandai berdiplomasi.
Tiba-tiba hening sejenak. Aku tak tahu harus bicara
apa. Toh dia yang memanggilku. Jadi harus dia yang menyuruhku keluar. Aku juga
tak mengerti kenapa dia membuat situasi jadi risih. Apa membiarkanku menyerap
kata-katanya? Entahlah. Menyadari kebisuan kami lantas dia menarik nafas dalam.
“maaf tadi saya sedang berpikir kenapa ya saya memanggil anda..” haaa?? Hampir
saja aku tertawa. Jadi itu toh?? Masa sih
dapat kepala sekolah pikun??? Ups. “oya,..” dia menginterupsi
pikiranku. “saya tipe koleris” iya, pengakuannya menjelaskan sekaligus
menjatuhkan. Tipe koleris kan kadang-kadang lupa pada hal yang kecil.
Jadi aku tidak ada apa-apanya. “bukan maksud saya ini hal kecil. Tapi ada hal
besar yang sedang saya pikirkan saat ini” dia menginterupsi lagi. Jadi
kuputuskan untuk tidak berpikir. “oh iya iya..” tiba-tiba dia berkata setengah
berteriak. “saya ingin memberi selamat kepada anda. Kabarnya hari sabtu kemarin
anda lulus sidang thesis!?!” Deg. Ya Allah,
jadi Karena itu? Setelah aku berspekulasi buruk tentangnya? Orang ini
benar-benar tak diduga. Aku senang mendengar ucapan selamat itu. Tapi rasa
heranku terlalu menguasai hingga aku lupa caranya tersenyum.
“saya senang melihat guru-guru yang tidak pernah
berhenti belajar”. Dia menegaskan ucapan selamatnya. “semoga pendidikan anda
membawa atmosfir yang lebih baik di sekolah ini dan..” lelaki yang kira-kira
berusia 55 tahunan itu mengambil jeda. “bekerja samalah dengan saya”. Aku mengangguk
kecil. “terima kasih” ucapku pelan. “oya, anda ada jam lagi?” tanyanya.
Basa-basi, tapi menunjukkan perhatian. Iya betul. Inilah kata yang tepat untuk
mewakili sikapnya. “um..tidak pak” jawabku. “silahkan jika anda ingin
bersitirahat di ruang guru” anjurnya. “tentu” jawabku singkat. Aku buru-buru
melangkah menuju pintu, “sebentar bu” tiba-tiba dia menghentikan langkahku.
“kalau dari sini ke jl. Moh. Toha berapa menit?” Deg. Dia tahu tempat
tinggalku. Maksudku tempat tinggal guru-guru di sini. Apa lagi ini? Setelah kujawab
pertanyaannya dia menegaskan ada perlu keesokan harinya ke sebuah gedung di
sana. Salah satu temannya mengadakan resepsi. Dia menjelaskan bahwa ini pertama
kali baginya tinggal di Bandung. Setelah sekian lama dia nyaris selalu
ditugaskan di daerah tertinggal di negeri ini. Catatan
PR buatku.
Serangan informasi yang begitu mendadak tentang
kepala sekolah baruku ini menuntunku berjalan begitu lambat menuju ruang guru.
Jujur, sebelumnya aku tak pernah ingin tahu profil kepala sekolah. Dengan
begitu aku merasa lebih ikhlas mengajar. Aku tidak ingin disibukkan oleh
spekulasi ataupun diganggu oleh ketidaknyamanan akan kebijakan atau sejarah
hidup pribadi mereka. Tapi kali ini rasanya begitu berbeda. Kesan pertamanya
menunjukkan bahwa dia begitu peduli, terbuka, penuh motivasi, tulus dan bijak.
Bukan berarti kepala sekolah sebelumnya tidak baik. Hanya saja aku tidak mampu
membaca mereka. Aku jarang berinteraksi dengan mereka. Tentu saja, aku sendiri
yang menutup diri. Sementara kali ini, aku terpaksa mengenalnya.
Sepanjang di ruang guru aku mendengar
bincang-bincang rekan-rekanku tentangnya. Ada yang berharap, pesimis, apatis
–menganggap sikap baiknya hanya pencitraan,
permulaan saja-. Yang jelas, hampir semua
rekanku berspekulasi tentangnya. Aku sendiri? Entahlah. Setelah kejadian di
ruang kepala sekolah, aku masih merasa bingung. Seperti yang dikatakannya, kita
tidak pernah bisa menilai seseorang hanya dari satu pertemuan. Bahkan
seseungguhnya kita tak pernah bisa menilai orang lain. Karena manusia bukanlah
makhluk yang statis.
Tapi, jujur juga aku merasa respek dengan tawaran
kerja samanya. Berapa banyak sih kepala sekolah yang bisa mengatakan hal itu
tidak sebagai ceremonial? Tapi tulus dari dalam hatinya. Tawaran tersebut juga tentunya sudah disampaikan kepada
rekan-rekan guruku yang lain. Jadi, aku belum memutuskan untuk melakukan
penilaian sampai samar kulihat dari arah pintu ruang guru, seorang lelaki
perlente dengan janggut tipisnya di dagu bertegur sapa di lorong antar ruang
dengan para siswa. Beberapa langkah dari situ kulihat dia membungkuk memungut
sesuatu yang kemudian dibuangnya di tempat sampah. Ya Allah, batinku. Aku pun
belum bisa begitu. Lalu dengan senyum bijaknya dia melanjutkan langkah
mengedarkan pandangan ke sekeliling sekolah ini. Matanya nanar melihat sesuatu.
Tapi objeknya bukan masa kini, matanya memandang ke masa depan. Aku tak tahu
apa yang dipikirkannya. Tapi aku tahu pasti apa yang dipikirkanku saat ini.
Sebuah harapan, terwujudnya sinergi di sekolah yang kucintai ini. Guru-guru yang
solid, para siswa yang cerdas, santun dan terampil, serta nuansa akademis yang
religius dan nyaman. Berkat kedatangannya, Kepala
Sekolah baruku.
*tulisan lama, ketika berharap mendapat pimpinan luar biasa di sekolah