Minggu, 24 September 2017

KEPALA SEKOLAH BARUKU*





            “oh Tuhan…” desisku panik ketika melihat jam dinding di kamarku menunjuk angka 5 tepat. Dengan sigap  aku segera menuju kamar mandi dan bergegas merapikan diri. Tentu saja tanpa lupa menunaikan kewajibanku sebagai seorang muslimah, shalat shubuh.
            Terus terang aku paling tak suka mengawali hari dengan cara seperti ini, tergesa-gesa. Ini membuatku tidak yakin apakah segala sesuatu akan berjalan dengan baik seharian. Berdasarkan pengalamanku di hari-hari sebelumnya, suasana pagi sangat menentukan moodku sepanjang hari. Kuharap itu tidak berlaku sekarang. Mencoba memantapkan hati, aku menatap pantulan diri di cermin, memaksakan diri tersenyum lalu menghirup nafas dalam, berdo’a memohon agar hari ini berjalan baik. Semoga.
---
            Jam 07.10. terlambat sepuluh menit. Mudah-mudahan tadi guru piket telat pijit bel, harapku. Tapi tentu saja, halaman sekolah sudah sepi. Tak ada suara berisik. Artinya, anak-anak sudah siap belajar. Tak berniat mengecek jadwal di ruang guru, aku merasa yakin kalau jam pertama di kelas 8 E. karena itu setelah memarkirkan motor, dengan buru-buru aku melesat menaiki tangga sebelah selatan menuju ruang kelas.
            Namun, ketika dengan yakin membuka pintu kelas aku terkejut. Di kelas sudah ada guru lain. Entahlah, setidaknya seseorang yang tidak kukenal sedang terlihat begitu asyik melakukan tanya jawab dengan siswa. Begitu aku mengucap salam, laki-laki berpostur tinggi tegap itu tersenyum menghampiri “bu Elena ya?..maaf saya lupa bilang, hari ini saya masuk di kelas ini” keningku mengernyit, bingung. Kenapa? Siapa? Batinku. Sampai dia membimbingku keluar dan berkata pelan, hampir tak terdengar agar aku menunggu di ruang kepala sekolah. Deg. Jantungku mencelos, tiba-tiba kakiku merasa tak berpijak. Kenapa sampai begitu lupa bahwa hari ini adalah hari pertama kepala sekolah baru -setelah prosesi serah terima yang tak sempat kuhadiri kemarin-. Dalam hati aku merutuki diri, tak siap dengan kejutan ini.

---
            Ini bukan pertama kalinya aku berada di ruang kepala sekolah. Namun tentu saja ini pertama kalinya aku dipanggil ke ruangan ini karena sebuah kesalahan. Menunggu di sini bukanlah kehormatan. Detik-detik yang berlalu seperti hukuman tersendiri. Demi mencoba menenangkan diri, aku membaca  al-Qur’an. Hingga, terdengar suara langkah kaki berat dan cepat menuju ruang tempatku duduk. Mushaf kulipat dan kusimpan di dalam tas.
“Bu Elena, maaf anda menunggu lama” Nada bicaranya yang cepat, lugas dan bersahabat itu membuyarkan lamunanku. Lelaki perlente dengan janggut tipis dan baju pemda tanpa jas yang tadi kulihat di kelasku akhirnya muncul di hadapanku. Kulihat dia mengatupkan kedua tangannya di depan dada. Mungkin maksudnya bersalaman, aku membalasnya.
Lantas dia duduk di sofa yang bersebrangan. Jujur, aku merasa sedikit lebih rileks tidak disuruh duduk di depan mejanya seperti kebiasaan kepala sekolah sebelumnya. Dengan duduk di sofa seperti ini, aku merasa diperlakukan sebagai partner kerja.
Tak ingin dibombardir dengan pertanyaan -Aku tidak tahu bagaimana biasanya kepala sekolah menegur guru yang terlambat datang, karena ini pertama kalinya bagiku- kupikir lebih baik segera minta maaf dan menjelaskan duduk persoalannya. “saya minta maaf pak, terus terang ini yang pertama kalinya. Sebelumnya saya tidak pernah terlambat”. Akhirnya kata-kata itu meluncur, meskipun aku masih tak berani melihat reaksinya. Hening sejenak sampai akhirnya kudengar kekehan ringan. “jangan khawatir bu. Kalaupun saya mau menegur anda, tentunya bukan pada kesempatan pertama. Tentu saja saya tidak bisa menilai anda hanya dengan sekali bertemu. Sungguh tidak bijak”.
Mendengar itu, reaksi spontanku adalah mendongak. Dadaku serasa ringan, meski masih sedikit heran. Lantas untuk apa aku disuruh ke sini? Tanyaku dalam hati. Menyadari kebingunganku, kepala sekolah itu tersenyum. “saya mengisi kelas anda supaya para siswa tidak ribut. Biasanya kan begitu. Mereka ke sini untuk belajar, jadi, sayang sekali kalau ada waktu yang tersia-sia.”. jleb, sindiran yang pas meski mungkin tidak ditujukan demikian. Aku jadi berspekulasi kalau kepala sekolahku yang baru ini pandai berdiplomasi.
Tiba-tiba hening sejenak. Aku tak tahu harus bicara apa. Toh dia yang memanggilku. Jadi harus dia yang menyuruhku keluar. Aku juga tak mengerti kenapa dia membuat situasi jadi risih. Apa membiarkanku menyerap kata-katanya? Entahlah. Menyadari kebisuan kami lantas dia menarik nafas dalam. “maaf tadi saya sedang berpikir kenapa ya saya memanggil anda..” haaa?? Hampir saja aku tertawa. Jadi itu toh?? Masa sih dapat kepala sekolah pikun??? Ups. “oya,..” dia menginterupsi pikiranku. “saya tipe koleris” iya, pengakuannya menjelaskan sekaligus menjatuhkan. Tipe koleris kan kadang-kadang lupa pada hal yang kecil. Jadi aku tidak ada apa-apanya. “bukan maksud saya ini hal kecil. Tapi ada hal besar yang sedang saya pikirkan saat ini” dia menginterupsi lagi. Jadi kuputuskan untuk tidak berpikir. “oh iya iya..” tiba-tiba dia berkata setengah berteriak. “saya ingin memberi selamat kepada anda. Kabarnya hari sabtu kemarin anda lulus sidang thesis!?!” Deg. Ya Allah, jadi Karena itu? Setelah aku berspekulasi buruk tentangnya? Orang ini benar-benar tak diduga. Aku senang mendengar ucapan selamat itu. Tapi rasa heranku terlalu menguasai hingga aku lupa caranya tersenyum.
“saya senang melihat guru-guru yang tidak pernah berhenti belajar”. Dia menegaskan ucapan selamatnya. “semoga pendidikan anda membawa atmosfir yang lebih baik di sekolah ini dan..” lelaki yang kira-kira berusia 55 tahunan itu mengambil jeda. “bekerja samalah dengan saya”. Aku mengangguk kecil. “terima kasih” ucapku pelan. “oya, anda ada jam lagi?” tanyanya. Basa-basi, tapi menunjukkan perhatian. Iya betul. Inilah kata yang tepat untuk mewakili sikapnya. “um..tidak pak” jawabku. “silahkan jika anda ingin bersitirahat di ruang guru” anjurnya. “tentu” jawabku singkat. Aku buru-buru melangkah menuju pintu, “sebentar bu” tiba-tiba dia menghentikan langkahku. “kalau dari sini ke jl. Moh. Toha berapa menit?” Deg. Dia tahu tempat tinggalku. Maksudku tempat tinggal guru-guru di sini. Apa lagi ini? Setelah kujawab pertanyaannya dia menegaskan ada perlu keesokan harinya ke sebuah gedung di sana. Salah satu temannya mengadakan resepsi. Dia menjelaskan bahwa ini pertama kali baginya tinggal di Bandung. Setelah sekian lama dia nyaris selalu ditugaskan di daerah tertinggal di negeri ini. Catatan PR buatku.
Serangan informasi yang begitu mendadak tentang kepala sekolah baruku ini menuntunku berjalan begitu lambat menuju ruang guru. Jujur, sebelumnya aku tak pernah ingin tahu profil kepala sekolah. Dengan begitu aku merasa lebih ikhlas mengajar. Aku tidak ingin disibukkan oleh spekulasi ataupun diganggu oleh ketidaknyamanan akan kebijakan atau sejarah hidup pribadi mereka. Tapi kali ini rasanya begitu berbeda. Kesan pertamanya menunjukkan bahwa dia begitu peduli, terbuka, penuh motivasi, tulus dan bijak. Bukan berarti kepala sekolah sebelumnya tidak baik. Hanya saja aku tidak mampu membaca mereka. Aku jarang berinteraksi dengan mereka. Tentu saja, aku sendiri yang menutup diri. Sementara kali ini, aku terpaksa mengenalnya.
Sepanjang di ruang guru aku mendengar bincang-bincang rekan-rekanku tentangnya. Ada yang berharap, pesimis, apatis –menganggap sikap baiknya hanya pencitraan, permulaan saja-.  Yang jelas, hampir semua rekanku berspekulasi tentangnya. Aku sendiri? Entahlah. Setelah kejadian di ruang kepala sekolah, aku masih merasa bingung. Seperti yang dikatakannya, kita tidak pernah bisa menilai seseorang hanya dari satu pertemuan. Bahkan seseungguhnya kita tak pernah bisa menilai orang lain. Karena manusia bukanlah makhluk yang statis.
Tapi, jujur juga aku merasa respek dengan tawaran kerja samanya. Berapa banyak sih kepala sekolah yang bisa mengatakan hal itu tidak sebagai ceremonial? Tapi tulus dari dalam hatinya. Tawaran tersebut  juga tentunya sudah disampaikan kepada rekan-rekan guruku yang lain. Jadi, aku belum memutuskan untuk melakukan penilaian sampai samar kulihat dari arah pintu ruang guru, seorang lelaki perlente dengan janggut tipisnya di dagu bertegur sapa di lorong antar ruang dengan para siswa. Beberapa langkah dari situ kulihat dia membungkuk memungut sesuatu yang kemudian dibuangnya di tempat sampah. Ya Allah, batinku. Aku pun belum bisa begitu. Lalu dengan senyum bijaknya dia melanjutkan langkah mengedarkan pandangan ke sekeliling sekolah ini. Matanya nanar melihat sesuatu. Tapi objeknya bukan masa kini, matanya memandang ke masa depan. Aku tak tahu apa yang dipikirkannya. Tapi aku tahu pasti apa yang dipikirkanku saat ini. Sebuah harapan, terwujudnya sinergi di sekolah yang kucintai ini. Guru-guru yang solid, para siswa yang cerdas, santun dan terampil, serta nuansa akademis yang religius dan nyaman. Berkat kedatangannya, Kepala Sekolah baruku.
             
 *tulisan lama, ketika berharap mendapat pimpinan luar biasa di sekolah

Jumat, 22 September 2017

POLIGAMI DI MATAKU*


 

Bismillahirrahmanirahim

Semoga Allah senantiasa melindungi kita. Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada baginda Rasulullah.

Beberapa tahun terakhir ini, media sosial mendekatkan kita dengan teman-teman lama. Selain untuk bersilaturahim, sarana komunikasi itu kerapkali diisi dengan guyonan dan candaan. Satu guyonan yang saya garisbawahi paling sering dilempar adalah mengenai isu poligami/isu menikah lagi bagi kalangan kami yang notabene rata-rata sudah menikah. Biasanya tidak ada pembahasan serius setelahnya.

Lantas, bagaimana kalau topik itu memang serius untuk dibahas?

Teruntuk teman-temanku yang berniat serius menempuh jalan ini, ijinkan saya, sebagai seorang teman menyampaikan isi hati.

Sebetulnya, jujur ... tidak mudah bagi saya untuk menyampaikan pendapat.

Di satu sisi, sebagai muslimah kami tidak mengingkari terbukanya pintu itu dalam syari’at -dengan syarat penyerta yang tentunya sudah seharusnya dipahami-. Namun, di sisi lain jika boleh memilih rasanya lebih suka kalau dihindarkan dari ujian yang satu ini. kami meragukan kemampuan diri untuk bisa menjalaninya.

Tetapi, ketika dalam satu titik perjalanan peluang itu ada di depan mata, -Maha Suci Allah dengan segala ujianNya- tentunya sang suami tahu bagaimana keadaan ma’mumnya saat ini. Ma’mum yang mempercayakan hati, lisan dan geraknya untuk dibimbing agar terjaga dari api neraka. Ma’mum yang percaya bahwa sang Imam tak mungkin mengajaknya untuk mengarungi bahtera yang tak sanggup ia tempuh. Ma’mum yang percaya bahwa imamnya tak mungkin meraih maslahat dengan mengambil resiko mafsadat yang lebih besar.

Seandainya saya boleh berharap, jikalau jalan itu memang akan ditempuh.. saya harap alasannya karena daruratnya situasi sehingga jalan itu menjadi satu-satunya solusi. Solusi untuk melindungi agama perempuan yang akan dinikahi –tidak adakah imam yang lain untuk ditawarkan padanya? Harus antumkah?- ; Solusi yang bisa membawa kebaikan yang lebih besar untuk agama antum, keluarga dan mungkin umat. Jika memang iya, saya yakin, ketika antum menyampaikan ini kepada istri, meskipun berat beliau akan bersama dengan antum untuk menempuh jalan itu.  

Tetapi, sekalipun situasinya tidak demikian (percayalah kami perempuan juga diuji untuk berpaling dari suaminya). Pesan saya “ketika antum memutuskan untuk menggenggam tangan yang lain, perkuatlah tangan yang selama ini bergandengan dengan antum. Jaga dia erat agar jangan sampai lepas. Kukuhkan hati dan pijakan kakinya”

Bismillah dan bertawakallah.
Jangan lupakan bahwa langkah antum juga dilihat siapapun yang menjadikan antum sebagai uswah.

Ingatlah bahwa Islam tidak hanya menetapkan hukum, tetapi juga menjunjung tinggi akhlak.
keputusan apapun yang antum ambil, semoga antum tidak pernah menyesalinya. PR umat masih banyak.

Selamat berjuang saudaraku. Semoga antum lulus dengan baik dalam ujian ini. Aamiin
Maafkan saya.
Akhir kata, Wallahu a’lam

Wassalamu’alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.

* Surat ini pada mulanya ditujukan untuk seorang teman yang meminta pendapat mengenai niatnya berpoligami.


Bandung, 22 September 2017

"R"

Kamis, 21 September 2017

ORDER FIKTIF


 
                Awalnya saya tidak berniat untuk mempublikasikan pengalaman ini. Kenapa? Terus terang saya khawatir pelakunya adalah seorang teman. Seburuk apapun perbuatan salah seorang teman kepada kita, pasti dia punya kebaikan yang setidaknya layak untuk mendapat kesempatan permakluman dan pemberian maaf. Tapi, terlepas dari siapapun pelakunya, barangkali pengalaman ini berharga untuk diketahui –mengingat saya juga seringkali browsing ketika mengalami suatu peristiwa baru dan butuh solusinya-.
                Ceritanya, hari itu tanggal 7 september 2017 salah seorang rekan guru memberi pesan via WA bahwa saya menerima paket dari Lazada. Kebetulan saya sudah mulai cuti besar tertanggal 4 september 2017, jadi beliau berinisiatif untuk membawa paket itu ke rumahnya. Mungkin saya tidak akan terlalu kaget jika pesanan itu merupakan pesanan yang tinggal diterima, sembari berpikir positif barangkali ada yang mau memberi saya hadiah milad, hehe. Namun, saat rekan saya –sebutlah Pak T- mengabari bahwa harga barang dan ongkos kirimnya sudah dihandle dulu pembayarannya oleh beliau, barulah saya ngeh bahwa itu pesanan yang dibayar di tempat, dengan nominal yang dibayarkan di atas satu juta. Innaalillaahi. Ada apa ini? Seketika saya konfirmasi bahwa saya tidak pernah memesan barang baru-baru ini ke Lazada. Pak T pun mengirimkan foto paket tersebut; berisi data pemesan yang ternyata mengatasnamakan saya beserta nomor handphonenya yang jelas bukan no hp saya. Spontan saya mengontak nomor tersebut. Dan , tentu saja nomor itu dalam keadaan tidak aktif.
Berlangsunglah chatting antara saya dengan pak T. Prasangka kami awal mulanya sama. Pertama, kemungkinan ada saudara yang memesan atas nama saya atau akun saya di Lazada yang diretas. Namun ternyata, kedua prasangka itu tidak terbukti. Kami sepakat untuk menindaklanjuti kejadian ini besok mengingat hari sudah sore. Saat itu jujur, saya sempat heran kepada teman yang membayarkan pesanan COD tanpa melakukan konfirmasi kepada saya. Seandainya beliau menelpon, saya akan langsung meminta untuk menolak paket tersebut sehingga kurir dapat mengontak “pemesan yang sesungguhnya” atau mengembalikan paket itu kepada penjual. Akan tetapi setelah berpikir jernih, di sisi lain saya menyadari bahwa tindakan rekan kerja itu itu merupakan wujud dari solidaritas, dan tentunya hal tersebut perlu saya syukuri. Hari itupun berlalu dengan kepasrahan saya kepada Allah seraya meminta jalan keluar terbaik dari-Nya.
Malam harinya saya mendapat rangkaian kejadian yang lebih rinci. Istri Pak T –yang juga merupakan rekan sesama guru- menceritakan kronologisnya dari ibu I yang lebih dulu menemui kurir Lazada. Saat paket itu sampai, ibu I memberitahu kurir bahwa saya sedang cuti. Dalam situasi normal, seharusnya kurir menelepon pemesan, namun selanjutnya kurir malah menanyakan ibu E –sesama pengurus DKM di sekolah kami-. Berlandaskan pertanyaan itu dan melirik bahwa pesanan itu ternyata amplifier, wajarlah jika ibu I tidak mencurigai apapun. Dipikirnya, saya memang betul memesan tetapi untuk DKM Mesjid sekolah. Cerita berlanjut dengan ibu I yang meminta Pak T untuk melakukan pembayaran. Sampai di sini saya memilih berbaik sangka, adanya salah satu pengurus DKM yang memesan atas nama saya. Meski, kejanggalan tetap ada. Sebab, di DKM jarang membuat keputusan tanpa adanya musyawarah terlebih dahulu. Terlebih menggunakan nama orang lain. Namun, ya sudahlah kondisi saya yang sedang kurang fit membuat saya malas untuk menelusuri kasus ini.
Keesokan harinya, rekan sesama pengurus DKM melakukan rapat. Mereka bersama membuka isi paket berisi amplifier tersebut. Kemudian mengklarifikasi ada tidaknya orang yang melakukan pemesanan atas nama saya. Ternyata, tidak ada. Akhirnya atas permintaan saya via WA kepada ketua DKM untuk menutup kasus ini dengan melakukan pembelian ampli oleh DKM dan kesepakatan musyawarah, ampli itu dibeli oleh DKM.
Seharusnya cerita berakhir sampai di situ. Kondisi kesehatan saya yang kurang baik membuat saya urung melakukan komplain ke Lazada. Akan tetapi, hati saya tetap tidak merasa tenang. Jika kasus ini lolos, maka kemungkinan pemesan mengulangi tindakan tidak terpujinya sangat besar. Bagaimana dengan akunnya di Lazada atas nama saya? Setelah menimbang beberapa kondisi, akhirnya saya memutuskan menuntaskan masalah ini sampai selesai. Seorang yang berbuat zhalim harus ditolong aar dia berhenti dari kezhalimannya.
Langkah pertama yang saya tempuh adalah mencari kontak CS Lazada. Alhamdulillah ternyata Lazada memiliki layanan CS yang bisa dikontak via messenger. Cerita saya pun mengalir kepada sang CS Lazada. Tidak perlu menunggu lama CS Lazada merespon dengan baik keluhan saya, bahkan menyilahkan saya untuk mengembalikan paket tersebut. Mereka siap bertanggung jawab untuk mengganti biaya yang telah dikeluarkan termasuk ongkos kirim pengembalian paket dan menonaktifkan akun palsu itu. Oh leganya perasaan saya.
Selanjutnya, rekan-rekan kerja saya sangat kooperatif dalam mengembalikan paket tersebut. Tanggal 9 september paket tersebut dikembalikan. Pada hari yang sama Lazada memberikan info via email bahwa akun palsu tersebut sudah dinonaktifkan. Alhamdulillah sehari setelah paket tersebut sampai kepada Lazada, saya dapat notif dari BRI bahwa dana refund dari Lazada sudah masuk rekening. Dan, masalahpun selesai. Salut juga untuk Lazada yang sangat respek terhadap pelanggan.
Dari peristiwa di atas, ada beberapa hal yang sempat masih menggelitik rasa ingin tahu saya. Siapa dan apa motif pelaku mengorder barang atas nama saya? muncul beberapa spekulasi dalam pemikiran saya, namun biarlah itu mengendap dalam benak. Yang jelas, pelaku adalah orang yang mengenal saya secara administratif dengan baik berdasarkan 2 fakta. Pertama, dia menulis nama saya dengan benar. orang sepintas biasanya salah dalam menulis nama saya, seperti kekurangan huruf y baik itu satu atau dua. Kedua, pelaku tahu saya sedang cuti, buktinya dia menitip pesan kepada kurir seolah berkata “jika saya tidak ada, titipkan kepada ibu E”. Sisi manusia saya menginginkan untuk menelusuri siapa pelaku sesungguhnya, namun kemudian saya berpikir setelah tahu saya mau apa? Akhirnya saya memilih untuk mendo’akan pelaku saja. Yang pasti, saya yakin dia tahu bahwa tindakannya itu tidak berhasil.
Bagi siapapun yang mengalami peristiwa yang sama, maka jika anda yang menerima order fiktif tersebut jangan sungkan untuk menolaknya. Tidak perlu merasa kasihan kepada kurir atau tidak enak hati. Sebab, jika demikian maka belanja online dapat memicu banyak penipuan. Siapapun bisa membuat akun atas nama orang lain lalu mebuat pemesanan atas nama orang tersebut. Karena itu, biarkan kurir yang melaporkan kepada perusahaan sehingga mereka dapat mengusutnya. Kedua, jika pesanan tersebut terlanjur diterima ajukanlah komplain. Sebab, perbuatan jahat tidak semata-mata merajalela karena semakin banyaknya orang jahat, tetapi karena orang baik diam atau mendiamkan saja.
Lantas, apa hikmah yang bisa dipetik dari pengalaman ini? tentu saja yang pertama adalah ilmu. setidaknya saya dan rekan2 kerja jadi tahu bagaimana mengurus sebuah order fiktif. kedua, pelajaran untuk selalu melakukan konfirmasi. dan terakhir, ujian tentunya. ujian dari Allah, sejauh mana kita bersabar atas apa yang menimpa kita. Semoga kita semua dapat menjadi insan yang senantiasa dapat mengembalikan segala urusan kepada Yang Maha Mengatur.



Bandung, 20 September 2017

“R”